Medan, 26/3 (indonesiaaktual.com) – Kadin Sumut menilai Program
B-40 bukan saja akan meningkatkan peran strategis Indonesia sebagai salah satu penyumbang bahan bakar nabati ( biofuel) terbesar di kawasan Asia Tenggara, tetapi
juga menekan impor konsumsi bahan bakar.
“Kadin mendukung Program Mandatori Niodiesel B40 atau bauran Solar dengan 40 persen bahan bakar nabati berbasis minyak sawit karena memang banyak manfaatnya, ” ujar Ketua Kadin Sumut Firsal Dida Mutyara: di Medan, Senin (25/3/2024).
Dia mengatakan itu saat berbincang dengan wartawan di kantornya.
Pemerintah menargetkan akan menerapkan B-40 secara efektif pada 2030 dari sebelumnya peningkatan bauran menjadi 35 persen (B35)
Firsal Dida Mutyara yang akrab dipanggil Dida, mengatakan, adanya B35 dan B40 akan mampu menurunkan nilai impor minyak dengan meningkatkan nilai tambah produksi sawit di dalam negeri.
Menurut Firsal Mutyara, besarnya produksi minyak kelapa sawit (CPO) di Indonesia merupakan salah satu potensi pengembangan biodiesel di tanah air.
Dia menyebut, Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia dengan produksi hingga 50,07 juta ton pada 2023 atau setara 67 persen dari total produksi CPO dunia.
Saat ini, kata dia, Indonesia juga merupakan produsen biodiesel terbesar di dunia dengan total produksi mencapai 137 ribu barel per hari.
Diketahui bahwa biodiesel jenis B35 menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah diimplementasikan mulai 1 Februari 2023
Namun, untuk jenis B40 belum diluncurkan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), paa Januari-September 2023 secara kumulatif, impor minyak mentah meningkat sebanyak 18,5 persen.
Hal serupa juga terjadi pada besaran impor hasil minyak yang meningkat sebanyak 3,4 persen dalam periode yang sama.
Jadi total volume impor minyak Indonesia mencapai 32,8 juta ton sehingga total volume impor minyak rekor tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Kenaikan volume impor minyak itu, kata Dida tidak terlepas dari fakta bahwa produksi minyak Indonesia yang cenderung terus menurun.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat tren volume produksi minyak bumi Indonesia terus mengalami penurunan semenjak tahun 2016, dan pada 2022 menjadi yang terendah selama satu dekade.
“Kontribusi sawit akan tetap tinggi ke depannya tidak hanya di Indonesia tapi juga di luar negeri. Apa yang akan terjadi misalnya jika negara kita terus mendorong biofuel dengan kandungan 35 persen, 40 persen sampai 50 persen, maka peran sawit akan sangat tinggi,” ujar Dida.
Namun dia mengingatkan, pemerintah harus hati-hati juga karena kebijakan itu bisa berpengaruh besar terhadap ekspor akibat domestic market obligation (kewajiban pemenuhan lokal) akan bertambah sementara pasok di pasar internasional akan berkurang.
Dalam analisisnya, konsumsi lokal akan terus meningkat dan jika itu terjadi harga sawit akan terlalu tinggi untuk ekspor.
“Sawit ini jadi bahan untuk dimakan dan dibakar. Dengan pertambahan jumlah penduduk yang akan mencapai dua kali lipat 20 tahun lagi maka konsumsi komoditas sawit akan tinggi sekali. Otomatis jika kebutuhan lokal semakin besar tak akan bisa diekspor, harga di luar negeri akan sangat mahal, “ujar Ketua Kadin Sumut itu.
Solusinya, kata dia, tentu di perbaikan generasi sawit termasuk perbaikan bibit serta penanaman dan peningkatan kapasitas produksi lahan yang meningkat.
“Karena dengan sawit ini setidaknya menjadi upaya untuk mendorong ketahanan energi dan ketahanan pangan di dalam negeri,”ujar Firsal.
(lis)