PEMERINTAH INDONESIA telah menargetkan perluasan kawasan konservasi hingga 30% sampai dengan 2045 yang dikenal dengan istilah MPA Vision 30×45. Target tersebut rencananya akan diterapkan dengan tiga tujuan yakni perlindungan keanekaragaman hayati laut, perikanan berkelanjutan yang utamanya terletak di perairan lepas pantai, serta karbon biru.
Untuk mendukung proyeksi nasional tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Konservasi Indonesia (KI) dan mitra pemerintah lainnya, menyiapkan skema kawasan konservasi perairan (KKP) lepas pantai atau offshore MPA yang mulai disosialisasikan konsepnya pada Konferensi Nasional Ke-11 Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Laut, dan Pulau-Pulau Kecil di Pontianak, Kalimantan Barat, sore ini.
Pembentukan kawasan konservasi lepas pantai dipastikan sejalan dengan upaya untuk melakukan pemanfaatan dan konservasi sumber daya ikan secara mandiri di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), seperti diatur dalam UU 5/1983 tentang ZEEI, dan Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Muh. Firdaus Agung Kunto Kurniawan mengatakan, offshore MPA memiliki nilai yang sangat penting untuk pembangunan ekonomi biru Indonesia.
“Memang ada potensi laut lepas ini dalam mendukung pengembangan ekonomi biru khususnya yang penangkapan ikan terukur. Kemudian, dia juga bisa menjaga dan melindungi sistem oseanografi secara keseluruhan, dan itu pasti akan mendukung lima inisiatif penerapan ekonomi biru. Tidak hanya itu dari penelitian-penelitian terkait ini nantinya juga akan menjadi khasanah baru juga yang akan kita kaji di masa depan,” ujar Firdaus usai diskusi yang diselenggarakan oleh Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut DJPKRL KKP di Hotel Mercure, Pontianak.
Lebih lanjut, Firdaus menyebut, diskusi kali ini dibuat untuk mengenalkan konsep kawasan konservasi skala besar dengan kelayakan teknis yang masih dikaji. Dia mengatakan, beberapa negara besar telah menggunakan dan mengaplikasikannya di atas 12 mil wilayah ZEE. Sedangkan untuk Indonesia, di beberapa penelitian awal ditemukan salah satu potensinya di wilayah barat Sumatra dan selatan Jawa sebagai kawasan EBSA (ecologically and biologically significant areas) yang luasnya sekitar 60 juta hektare (ha).
“Kelayakan teknis, legal, administrasinya memang masih perlu dikaji. Tapi yang pasti, mulai hari ini kita sudah mengenalkan satu diskusi bagaimana kita menjaga wilayah-wilayah yang punya
kerentanan dari sisi keanekaragaman hayati, ekonomi, dan geopolitik,” imbuh Firda.
Senior Ocean Program Advisor Konservasi Indonesia, Victor Nikijuluw menambahkan, selain dapat melindungi sumber daya ikan pelagis, konservasi perairan skala besar juga dikembangkan untuk melindungi spesies laut yang terancam punah, termasuk penyu dan mamalia laut, seperti paus dan lumba-lumba yang bermigrasi dan memiliki mobilitas tinggi.
KKP Lepas Pantai sering juga disebut dengan “Konservasi Laut Dalam (Blue Water MPA), Konservasi Untuk Tujuan Perikanan (Fisheries MPA), atau Konservasi Skala Besar (Large-scale fisheries).
“Tidak hanya itu, KKP lepas pantai pun dapat dikembangkan untuk melindungi area yang memiliki signifikansi budaya, seperti situs arkeologi bawah air atau area yang memiliki kepentingan historis
bagi masyarakat adat,” sebut Victor.
KKP lepas pantai adalah nama generik untuk konservasi. Namun demikian model konservasi lainnya yaitu OECM (other effective conservation measures) di lepas pantai seperti “penutupan kawasan (closed area), penutupan musim (closed season), atau bentuk tatakelola lainnya yang bertujuan untuk keberlanjutan, peningkatan produktivitas, dan pemerataan pemanfaatan sumberdaya.
KKP lepas pantai ini diperuntukkan di kawasan di atas 12 mil, utamanya di zone ekonomi eksklusif.
Jimy Kalther, Marine Ecology Specialist Konservasi Indonesia menjelaskan, dari penelitian yang telah dilakukan, skema penerapan offshore MPA dapat menjadi alat yang digunakan untuk mempermudah pemulihan stok ikan-ikan ekonomis penting. Menurut dia, masih banyak masyarakat yang menganggap penangkapan ikan di laut lepas dapat dilakukan sebanyak-banyaknya karena ikan-ikan tersebut akan terus berkembang biak.
“Penangkapan ikan yang terus menerus itu tentunya akan berujung pada habisnya jumlah ikan di satu wilayah. Karena itu, melalui rencana offshore MPA ini juga diharapkan bisa memfasilitasi ikan untuk memulihkan stoknya. Nantinya, lokasi ikan memijah itu yang akan terlindungi, sekaligus mencegah ikan-ikan yang sedang memijah untuk tidak tertangkap oleh nelayan,” kata Jimy.
Jimy menjelaskan, rancangan offshore MPA juga mempertimbangkan karakteristik ekologi dan oseanografi dalam penentuan areanya. Dia mengatakan, kawasan perairan lepas Pantai yang sebelumnya dianggap memiliki karakteristik homogen, ternyata memiliki potensi keanekaragaman hayati yang cukup tinggi.
“Artinya, ada satu nilai penting yang harus kita lindungi dari kawasan konservasi perairan ini selain meningkatkan target perluasan kawasannya,” imbuh dia.
Prof. Augy Syahailatua, Peneliti Ahli Utama Oseanografi Biologi Badan Riset Inovasi Nasional, pada kesempatan yang sama, mengatakan kawasan konservasi perairan lepas pantai menjadi sangat penting karena memiliki manfaat di antaranya; membantu melindungi ekosistem laut dan keanekaragaman hayati dengan menyediakan perlindungan bagi berbagai spesies biota laut, berperan sebagai alat pengelolaan perikanan dengan menjaga kesehatan populasi spesies target, dan mencegah eksploitasi sumber daya ikan berlebihan.
Hal ini juga dapat mendukung terjadinya efek limpahan (spillover effect), di mana populasi ikan di dalam KKLPLP bermigrasi ke wilayah sekitarnya, sehingga memberikan manfaat bagi perikanan di wilayah tersebut.
“Selain itu juga berkontribusi terhadap ketahanan ekosistem laut secara keseluruhan dengan memungkinkan ekosistem laut pulih dari dampak aktivitas manusia, seperti tekanan penangkapan ikan dan perusakan habitat,” kata Augy. (lis)