Medan, 21/11 (indonesiaaktual.com) – Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menegaskan badan itu mendukung supaya semua pemangku kepentingan memahami peraturan untuk menghindari konflik.
“BPDPKS selalu hadir untuk mengatasi berbagai masalah kelapa sawit dengan pendanaan untuk mendukung perbaikan kelapa sawit, ” ujar Kepala Divisi Perusahaan BPDPKS Achmad Maulizall Sutawijaya di Medan, Rabu (20/11/2024).
Dia mengatakan hal itu dalam pembukaan Seminar Nasional dan Field Trip Mengantisipasi Gangguan Usaha dan Konflik untuk Menjaga Keberlangsungan Sawit Indonesia Berkelanjutan yang diselenggarakan Media Perkebunan dan BPDPKS di Medan, 20-21 November 2021.
Acara dibuka Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Ditjenbun Prayudi Syamsuri mewakili Plt Dirjen Perkebunan, Heru Tri Widarto.
Menurut Achmad Maulizall Sutawijaya, setiap aktivitas pendanaan BPDPKS mengikuti aturan pemerintah.
Penyaluran dana Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) sendiri sudah naik dari Rp30 juta menjadi Rp60 juta per hektare.
Kenaikan itu karena ketika masih Rp30 juta banyak petani yang mengeluh karena mengaku dana itu tidak cukup untuk peremajaan.
“Saat ini di pemerintahan baru Presiden Prabowo, BPDPKS masih menunggu regulasi soal posisi karena Kementerian Dewan Pengawas dan Komisi Pengarah berada dalam Menteri Koordinator berbeda,” katanya.
Kementerian Pertanian contohnya sekarang berada di bawah Menteri Koordinator Pangan.
Hal itu penting untuk melanjutkan peran BPDPKS mengembangkan sawit berkelanjutan.
Prayudi Syamsuri mengatakan, tanaman kelapa sawit itu unik dibanding komoditas perkebunan lain.
Keunikannya antara lain yakni porsi perusahaan dan rakyat seimbang dalam luas lahan, sedang komoditas lain seperti karet, kakao, kopi yang dimiliki rakyat lebih besar atau sekitar 90%.
Dia menegaskan, ada dua kekuatan ekonomi pada daerah sentra sawit yang menumbuhkan ekonomi dan kesempatan kerja yaitu perusahaan dengan modal dari luar daerah itu dan rakyat sendiri, yang berada pada tapak yang sama.
“Posisi berada dalam satu tapak itu membuat potensi konflik yang berakibat gangguan usaha, “katanya.
Potensi gangguan usaha itu harus diantisipasi dengan memiliki sistim peringatan dini.
Jika sudah terjadi maka perlu ada upaya yang lebih besar dengan gangguan ekonom dan sosial yang berbiaya besar juga.
“Karena itu saya menghargai Media Perkebunan yang mengadakan Seminar Nasional Mengantisipasi Gangguan Usaha dan Konflik Untuk Menjaga Keberlangsungan Sawit Indonesia,” katanya.
Dia menambahkan, penyebab lainnya adalah Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM).
Aturan pemerintah itu bertujuan menjaga keseimbangan aspek ekonomi dan sosial tingkat tapak.
Pemerintah punya niat baik supaya tidak ada kesenjangan ekonomi yang membuat terjadinya gangguan usaha.
Kata kuncinya adalah patuh terhadap regulasi, dimulai dengan paham dengan regulasi, ketidakpahaman bisa menimbulkan konflik.
“Kalau belum paham sekali bisa jadi bias dan konflik juga, paham baru dipatuhi. Semua pemangku kepentingan harus menyatukan frekuensi untuk punya pemahaman yang sama tentang regulasi. Beda pemahaman bisa timbuk konflik,”ujarnya.
Pemimpin Usaha Media Perkebunan, Hendra J Purba,
mengatakan, sejarah kelapa sawit di Indonesia adalah sejarah kemitraan antara perusahaan dan masyarakat sekitar kebun sehingga konflik bisa diminimalisir.
Pada perkembangan selanjutnya, katanya, konflik terjadi karena pemahaman yang tidak sama soal regulasi.
Oleh karena itu, kata Hendra, Media Perkebunan berinisiatif membuat seminar “Mengantisipasi Gangguan Usaha dan Konflik Untuk Menjaga Keberlangsungan Sawit Indonesia Berkelanjutan” sebagai ajang berbagai pengalaman dan upaya bersama bagaimana mengatasi masalah tersebut.
Usai seminar, pada hari kedua, acara dilanjutkan dengan kunjungan ke Museum Perkebunan Indonesia supaya pelaku perkebunan tahu sejarah sebagai pelajaran untuk masa kini dan masa depan.
Ketua Kelompok Hukum, Perizinan dan Humas, Sekretaris Ditjen Perkebunan, Hadi Dafenta, menyatakan, ada 25 regulasi tentang perkebunan..
Dari 25 regulasi itu, ada 3 regulasi yang sering menjadi masalah dan laporan ke Ditjenbun yaitu kewajiban pemenuhan hak atas tanah, fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (FPKM) dan Pemenuhan Kebutuhan Bahan Baku (PKS tanpa kebun).
Kewajiban Pemenuhan Hak atas Tanah, UU nomor 39 tahun 2014 pasal 42 menyatakan kegiatan usaha perkebunan dapat dilakukan setelah perusahaan mendapat hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan. Jadi bila punya IUP saja sudah bisa operasional.
Frasa itu digugat di MK tahun 2015 dan MK menetapkan IUP dan HGU.harus ada dua-duanya.
Pertimbangan hakim adalah tidak mungkin perusahaan perkebunan dengan penguasaan ribuan hektare tidak punya legalitas atas tanah.
Legalitas lahan untuk meminimalisir konflik. UU nomor 6 tahun 2023 sudah memasukan hal itu.
Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) menurut perizinan berusaha dibagi menjadi fase 1 sebelum tanggal 28 Pebruari 2007, fase 2 28 Pebruari 2007-2 November 2020, fase 3 setelah 2 November 2020.
Fase 1 yang sudah melakukan kemitraan dianggap sudah melakukan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar (FPKMS)
Sementara yang tidak melakukan FPKMS dengan kegiatan usaha produktif.
Fase 2 perusahaan sudah tahu wajib FPKMS karena ada dalam perizinan, yaitu 20% dari IUP..
Kalau disekitarnya tidak ada lahan masyarakat, maka wajib mengadakan kegiatan usaha produktif.
Fase 3 perusahaan yang lahannya dari non HGU dan kawasan hutan wajib FPKM, sedang yang membeli dari masyarakat tidak.
Pemenuhan kebutuhan bahan baku (Permentan 98/2013 jo 21/2017) PKS harus punya bahan baku 20% dari kebun yang diusahakan sendiri bukan milik sendiri.
Bisa juga kebun perusahaan lain atau kebun masyarakat dengan syaratnya harus dilakukan budidaya sendiri oleh PKS. (lis)