Medan, 22/3 (indonesiaaktual.com) – Eco Bhinneka Muhammadiyah bersama GreenFaith Indonesia dan dukungan Pemerintah Inggris melalui Foreign, Commonwealth and Development Office (FCDO) sukses menggelar acara Diseminasi Hasil Kerja Advokasi dan Silaturahmi Lintas Iman di Jakarta.
“Acara yang bertujuan untuk memperkuat peran agama dan kepercayaan dalam upaya mitigasi perubahan iklim serta membangun kolaborasi lintas iman menuju Indonesia yang lebih hijau dan berkelanjutan di Gedung PP Muhammadiyah, Jakarta, Kamis 20 Maret 2025 berlangsung sukses, “ujar Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, Hening Parlan di Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Acara itu dihadiri berbagai tokoh agama, lingkungan, perwakilan kedutaan besar negara sahabat, organisasi lintas agama, tokoh muda, dan penyandang disabilitas.
Kehadiran mereka, katanya, menegaskan komitmen bersama dalam menghadapi tantangan krisis iklim yang semakin mengancam.
Hening Parlan, memaparkan hasil kerja advokasi yang berlangsung sejak Januari hingga Maret 2025.
Mereka, katanya, telah menyelesaikan serangkaian kerja advokasi di Jakarta, Sawahlunto (Sumatera Barat), Pekanbaru (Riau), Ambon (Maluku), dan melalui platform online.
Melalui kerja itu, ujar dia, mereka ingin melihat bagaimana keterlibatan lintas agama dan kepercayaan dapat berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim.
Hening menjelaskan bahwa agama memiliki peran sentral dalam menggerakkan kesadaran kolektif untuk merawat lingkungan.
“Agama menjadi penjaga moral dalam melestarikan, mengelola, dan memuliakan lingkungan dengan tanggung jawab, kepedulian, keadilan, dan keberlanjutan. Nilai-nilai ini diambil dari ayat-ayat dalam kitab suci,” ujarnya.
Hasil kerja advokasi itu menghasilkan sejumlah rekomendasi kebijakan lingkungan untuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Kelembagaan Organisasi Keagamaan dan Koalisi Lintas Iman.
Rekomendasi itu antara lain, mengevaluasi kebijakan yang melanggengkan kerusakan lingkungan, penguatan kebijakan dan regulasi berorientasi lingkungan, penguatan dukungan dan pendanaan program lingkungan, peningkatan kolaborasi dan koordinasi lintas sektor, penghargaan dan integrasi jaringan lintas iman, peningkatan kapasitas dan advokasi kebijakan
Termasuk strategi komunikasi dan dukungan bagi kelompok rentan.
/Agama sebagai Sumber Moralitas untuk Perubahan Nyata//
Acara itu menegaskan bahwa agama bukan hanya sekadar ritual, melainkan sumber daya moral yang dapat menggerakkan perubahan nyata.
Dengan solidaritas lintas iman, inklusivitas, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi contoh dunia dalam pembangunan rendah karbon.
Seperti kata pepatah Jawa, ‘Memayu hayuning bawana’—merawat keindahan dunia.
Inilah saatnya agama menjadi tangan yang aktif, bukan hanya mulut yang berdoa.
Kolaborasi lintas agama dan kepercayaan telah membuktikan bahwa nilai-nilai spiritual dapat menjadi kekuatan transformatif dalam menghadapi krisis iklim.
Dengan semangat gotong royong, Indonesia dapat mewujudkan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.
Low Carbon Policy and Programme Advisor dari British Embassy Jakarta,
Ari F Adipratomo dalam sambutannya secara daring, menyampaikan apresiasi atas inisiatif acara itu.
Sementara Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah,Prof. Syafiq A Mughni, MA, dalam sambutan pembukaannya menekankan pentingnya reformasi pemikiran keagamaan yang pro-lingkungan.
Menurut dia, masalah lingkungan dan krisis iklim adalah persoalan besar bagi Muhammadiyah.
“Kita perlu memahami agama secara komprehensif, bukan hanya dalam konteks hubungan dengan Tuhan, tetapi juga hubungan dengan alam,”katanya.
Dia menegaskan, persoalan lingkungan adalah tanggung jawab kita sebagai khalifah di bumi.
Syafiq juga mengkritik praktik mubazir yang masih marak, terutama selama bulan Ramadan, dimana sampah makanan meningkat hingga 20%.
“Itu menunjukkan bahwa kita belum memiliki hubungan yang baik dengan lingkungan. Kita perlu menghidupkan kembali spirit green Ramadan dan mengubah pola hidup kita agar lebih ramah lingkungan,” ujarnya.
Hasil kerja advokasi itu menghasilkan sejumlah rekomendasi kebijakan lingkungan untuk Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Kelembagaan Organisasi Keagamaan dan Koalisi Lintas Iman.
Rekomendasi itu antara lain, mengevaluasi kebijakan yang melanggengkan kerusakan lingkungan, penguatan kebijakan dan regulasi berorientasi lingkungan, penguatan dukungan dan pendanaan program lingkungan, peningkatan kolaborasi dan koordinasi lintas sektor, penghargaan dan integrasi jaringan lintas iman, peningkatan kapasitas dan advokasi kebijakan
Termasuk strategi komunikasi dan dukungan bagi kelompok rentan.
//Kisah Inspiratif dari Tokoh Agama, Tokoh Adat, dan Kelompok Disabilitas//
Pendeta Jhon Victor Kainama, Kepala Biro lingkungan Hidup dan Kebencanaan Gereja Protestan Maluku (GPM) Ambon, yang hadir dalam acara ini turut berbagi pengalaman tentang perjuangan gereja bersama masyarakat melawan eksploitasi tambang di NTT.
“Kami dari GPM merasa harus terlibat dalam aktivisme lingkungan karena itu adalah bagian dari iman dan moral kami. Kita tidak mau hanya berada di mimbar saja,” ujarnya.
Pendeta Jhon menjelaskan bahwa wilayah kerja GPM tidak hanya di Provinsi Maluku, tetapi juga sampai dengan Maluku Utara.
Kedua provinsi itu sering disebut dengan wilayah kepulauan Maluku.
“Kami mengadvokasi wilayah-wilayah pulau kecil yang terancam oleh Industri ekstraktif, terutama pertambangan nikel,”ujarnya.
Sementara itu, Putu Ardana, tokoh adat Masyarakat Adat Dalem Tamblingan, Bali, menceritakan perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan hutan suci mereka dari ekspansi investor.
“Leluhur kami memutuskan bahwa hutan dan danau itu adalah sumber hidup utama kita yang tidak boleh diotak-atik. Pesan itu ditulis dalam lontar dan diwariskan turun-temurun.” ujarnya.
Dia melanjutkan bahwa dirinya bersama dengan komunitas masyarakat adat Dalem Tamblingan siap untuk mempertahankan hutan suci dari berbagai ancaman.
Baginya, kekayaan hutan tidak bisa dikonversi dengan murah dan kepentingan jangka pendek, karena hutan adalah rumah air, keanekaragaman hayati, dan sumber obat-obatan.
“Lebih jauh, hutan sangat bermakna spiritual,” tegasnya.
Indah Purwanti Mugianti, Kepala Sekolah dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Tia di Sawahlunto, menyampaikan apresiasi atas dilibatkannya kelompok disabilitas dalam acara tersebut.
*Selama ini, kelompok disabilitas tidak pernah dilibatkan dalam pembangunan, apalagi mitigasi perubahan iklim, “katanya.
Padahal, katanya, mereka adalah kelompok yang paling rentan terdampak krisis iklim dan kerusakan lingkungan.
Indah mencontohkan bagaimana penyandang disabilitas tuna rungu tidak dapat mendengar peringatan bencana, sehingga membutuhkan sistem yang inklusif.
//Agama sebagai Sumber Moralitas untuk Perubahan Nyata//
Acara itu menegaskan bahwa agama bukan hanya sekadar ritual, melainkan sumber daya moral yang dapat menggerakkan perubahan nyata.
Dengan solidaritas lintas iman, inklusivitas, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi contoh dunia dalam pembangunan rendah karbon.
Seperti kata pepatah Jawa, ‘Memayu hayuning bawana’—merawat keindahan dunia.
Inilah saatnya agama menjadi tangan yang aktif, bukan hanya mulut yang berdoa.
Kolaborasi lintas agama dan kepercayaan telah membuktikan bahwa nilai-nilai spiritual dapat menjadi kekuatan transformatif dalam menghadapi krisis iklim.
Dengan semangat gotong royong, Indonesia dapat mewujudkan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. (lis)